UTS SOSIOLOGI BENCANA
Nama : Erni Wulandari
NIM : 18413241030
Prodi : Pendidikan Sosiologi 2018 A
Erupsi Merapi tak Perlu Diratapi
Kabupaten
Sleman Yogyakarta adalah daerah tempat tinggal saya sejak kecil. Daerah Sleman
pun tidak luput menjadi salah satu daerah yang bisa dikatakan rawan terhadap
bencana salah satunya adalah keberadaan Gunung Merapi. Gunung Merapi terletak
antara batasan DIY dengan Jawa Tengah yang memiliki ketinggian sekitar 2.968
meter. Menurut data BNPB tahun 2016 sebaran potensi terdampak erupsi gunung api
di Yogyakarta sangat tinggi disusul oleh Sumatra Utara. Di Yogyakarta, 47
persen penduduk di kawasan rawan bencana terpapar risiko tinggi apabila Gunung
Merapi meletus. Adapun risiko sedangnya 12 persen dan risiko rendahnya mencapai
41 persen. Sedangkan di Sumatra Utarat, risiko rendahnya justru relatif tinggi
(53 persen penduduk). Sementara risiko tingginya 23 persen, tapi cukup untuk
menentukan bahwa Gunung Sinabung di Sumatra Utara punya sebaran risiko cukup
tinggi.
Data potensi sebaran terdampak erupsi gunung api di Indonesia tahun 2016. Diakses https://beritagar.id/artikel/berita/warga-yogyakarta-dan-sumut-paling-rentan-erupsi-gunung-api |
Di balik keindahan dan keeksotisannya, Gunung Merapi ini
adalah salah satu gunung aktif yang berada di Indonesia yang telah beberapa
kali erupsi. Gunung Merapi digolongan menjadi gunung berbahaya karena mengalami
erupsi setiap 2 hingga 5 tahun sekali. Sehingga menjadi salah satu dari 16
gunung api dunia yang termasuk dalam Proyek Gunung Api Dekade (Decade Volcanoes). Sejarah erupsi Gunung
Merapi mulai diriwayatkan pada tahun 1006, dan banyak sekali mitos dan legenda
terkait dengan Gunung Merapi.
Ketika gunung berapi meletus terjadi karena adanya tekanan gas dari perut bumi yang kuat hingga mendorong magma keluar. Adapun beberapa material yang keluar dari gunung meletus antara lain gas vulkanik, awan panas atau wedhus gembel (penyebutan masyarakat Jogja untuk awan panas yang keluar dari Gunung Merapi), lava, lahar, dan hujan abu. Adapun dampak yang muncul akibat gunung meletus antara lain, kerusakan lingkungan, sarana prasarana, serta psikis bagi korban karena kehilangan harta benda maupun kerabatnya. Hal ini yang menjadi perhatian pemerintah untuk menjaungkau dampak dari letusan Gunung Merapi.
Erupsi Merapi mengeluarkan awan panas yang menggumpal (wesdhus gembel). Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-1481267/-wedhus-gembel-ngamuk-lagi-pengungsi-diimbau-tidak-panik |
Dengan jarak erupsi setiap tahun yang cukup berdekatan
itu dan dampak yang ditimbulkan, maka perlu adanya kesiapan dan kesigapan bagi
masyarakat terutama yang tinggal di sekitaran lereng Gunung Merapi. Oleh sebab
itu, perlu adanya kesadaran masyarakat yang dibantu oleh pihak pemerintah untuk
mensosialisasikan managemen bencana terhadap Gunung Merapi.
Managemen bencana atau disebut sebagai penanggulangan bencana merupakan suatu bentuk rangkaian kegiatan yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan yang dilaksanakan semenjak sebelum kejadian bencana, pada saat atau sesaat setelah kejadian bencana, hingga pasca kejadian bencana. Manajemen bencana merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah bersama-sama masyarakat dalam rangka mewujudkan perlindungan yang maksimal kepada masyarakat beserta aset-aset sosial, ekonomi dan lingkungannya dari kemungkinan terjadinya bencana. Keikutsertaan masyarakat di dalam manajemen bencana perlu terus dijaga dan terus dikembangkan. Sehingga manajemen bencana ini merupakan salah satu wujud pelayanan bagi publik dimana dalam pelaksanaannya harus dikelola dengan baik untuk mengurangi penderitaan dan kerugian akibat bencana. Tahapan manajemen bencana dari Gunung Merapi yang dilakukan dari pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana.
A. Manajemen
Pra Bencana Gunung Meletus
Manajemen pra bencana dalam
mitigasi bencana adalah kegiatan yang dilakukan sebelum bencana datang sehingga
ketika bencana sewaktu waktu datang maka masyarakat sudah sigap. Mitigasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana yang dapat
dilakukan melalui berbagai cara termasuk pelaksanaan penataan ruang, pengaturan
pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan tak kalah penting
adalah penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern. Mitigasi bencana gunungapi dalam pengertian yang
lebih luas bisa diartikan sebagai segala usaha dan tindakan untuk mengurangi
dampak bencana yang disebabkan oleh erupsi gunungapi.
1. Kesiagaan
Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang
cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana yang dapat dilakukan melalui penyusunan
dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; pengorganisasian,
pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; penyediaan dan penyiapan
barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan,
pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi evakuasi;
penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap
darurat bencana; serta penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan
untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
2. Peringatan
Dini
Sistem ini berfungsi untuk menyampaikan informasi
terkini status aktivitas Gunung Merapi dan tindakan-tindakan yang harus diambil
oleh berbagai pihak dan terutama oleh masyarakat yang terancam bahaya. Bentuk peringatan
yang dapat disampaikan yaitu Peta Kawasan Rawan Bencana untuk memuat zonasi
level kerawanan sehingga masyarakat diingatkan akan bahaya dalam lingkup ruang
dan waktu yang dapat menimpa mereka di dalam kawasan Merapi. Informasi yang
disampaikan dalam sistem peringatan dini terutama adalah tingkat ancaman bahaya
atau status kegiatan vulkanik Merapi serta langkah-langkah yang harus diambil. Tingkat
peringatan dini untuk bencana letusan Gunung Merapi yaitu Aktif Normal,
Waspada, Siaga dan Awas.
Tahapan status gunung berapi. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/06/181500665/infografik--tahapan-status-gunung-merapi |
1. 3. Sirine
Peringatan Dini dan Komunikasi Radio
Peringatan dini sirine adalah suatu
sistem perangkat keras yang berfungsi hanya pada keadaan sangat darurat apabila
peringatan dini bertahap tidak mungkin dilakukan.. Sarana komunikasi radio
bergerak juga termasuk dalam sistem penyebaran informasi dan peringatan dini di
Merapi.
2. 4. Penyebaran Informasi
Penanggulangan bencana Merapi akan berhasil dengan baik
apabila dilakukan secara terpadu antara pemantauan Merapi yang menghasilkan
data yang akurat secara visual dan instrumental, peralatan yang modern, sistem peringatan
dini, peralatan komunikasi yang bagus dan didukung oleh pemahaman yang benar
dan kesadaran yang kuat dari masyarakat untuk melakukan penyelamatan diri.
3. 5. Forum Merapi
Bertujuan menjembatani komunikasi dan pelaksanaan kegiatan bersama guna mewujudkan pengelolaan Gunung Merapi secara menyeluruh pada aspek ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakatnya maka pada 17 Desember 2007 di Yogyakarta, Bupati Klaten, Bupati Boyolali, Bupati Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan Bupati Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana geologi (PVMBG) sepakat bekerja sama dalam "Forum Merapi" dalam rangka pengurangan risiko Merapi.
1. 6. Wajib
Latih Penanggulangan bencana
Wajib latih adalah program berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan potensi ancaman bencana, menciptakan dan meningkatkan kesadaran akan resiko bencana.
B. Manajemen Bencana Saat Kejadian
Tanggap darurat saat terjadi bencana perlu dilakukan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan seperti penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Langkah mitigasi bencana yang wajib dilakukan saat gunung api meletus dilansir dari BNPB antara lain :
1. Tidak berada di lokasi radius yang telah ditentukan.
2. Tidak berada di lembah dan daerah aliran sungai.
3. Hindari tempat terbuka untuk melindungi diri dari abu letusan gunung merapi.
4. Tidak menggunakan lensa kontak.
5. Gunakan masker atau kain basah untuk menutup mulut dan hidung.
6. Memakai pakaian tertutup yang melindungi tubuh seperti baju lengan panjang, celana panjang, dan topi.
Setelah terjadi letusan terjadi yang perlu dilakukan antara lain :
1. Menjauhi wilayah yang terjadi hujan abu.
2. Menghindari untuk mengerndarai mobil di daerah yang terkena hujan abu vulkanik sebab dapat merusak mesin kendaraan, rem, perseneling hingga pengapian.
3. Bersihkan atap dari timbunan debu vulkanin, karena beratnya bisa merobohkan dan merusak atap rumah atau bangunan.
Infografik sosialisasi saat terjadi gunung meletus. Diakses dari https://twitter.com/pusdalops_diy/status/1002378762783109120?lang=eu |
C. Manajemen
Pasca Bencana Gunung Meletus
Upaya penanganan pasca
bencana atau setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat
dilewati, maka langkah berikut akan dilakukan yaitu tahap pemulihan meliputi
tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Strategi rehabilitasi dan rekontruksi
pasca bencana antara lain pada bidang perumahan dan permukiman, prasarana
publik, sosial, ekonomi produktif, dan lintas sektor.
1. Tahap
Rehabilitasi
Dalam tahap
rehabilitasi, upaya yang dilakukan adalah perbaikan fisik non fisik serta
pemberdayaan dan pengembalian harkat korban. Tahap ini bertujuan mengembalikan
dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk
menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah,
bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana
perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi
adalah untuk memperbaiki pelayanan masyarakat atau publik sampai pada tingkat
yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini juga diupayakan penyelesaian
berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek kejiwaan/psikologi melalui
penanganan trauma korban bencana.
Upaya penanggulangan
atau penanganan pasca bencana gunung berapi yaitu :
1) Tindakan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah / pihak berwenang setelah terjadi letusan
gunung berapi adalah sebagai berikut :
a) Menginventarisasi
data, yang mencakup sebaran dan volume hasil letusan.
b) Mengidentifikasi
daerah yang terkena dan terancam bahaya.
c) Memberikan
sarana penanggulangan bahaya.
d) Memperbaiki
fasilitas pemantauan yang rusak.
e) Menurunkan
status tingkat kegiatan.
f) Melanjutkan
pemantauan rutin, meskipun keadaan sudah menurun.
g) Memberikan
sarana penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang.
h) Membangun
kembali bangunan, sarana, dan fasilitas lainnya yang terkena bencana.
2) Tindakan
yang dapat dilakukan oleh individu atau masyarakat setelah terjadi letusan
gunung berapi adalah sebagai berikut:
a) Mengikuti
informasi perkembangan status gunung api.
b) Apabila
sudah dianggap aman dan dapat kembali, periksalah rumah dan barang lain yang
ada.
c) Menghubungi
dan mengecek saudara dan kerabat yang lain.
d) Bersama
dengan warga dan pemerintah bergotong royong membersihkan dan memperbaiki
sarana - sarana yang masih dapat dimanfaatkan.
e) Jauhi
daerah yang terkena hujan abu.
f) Membantu
tim medis menolong para korban.
Rehabilitasi Lahan Pasca Erupsi Merapi Diakses dari https://www.menlhk.go.id/site/single_post/1840 |
2. Tahap
Rekonstruksi
Upaya yang dilakukan pada tahap rekonstruksi adalah pembangunan kembali sarana, prasarana serta fasilitas umum yang rusak dengan tujuan agar kehidupan masyarakat kembali berjalan normal. Biasanya melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali masyarakat dan kawasan. Pendekatan pada tahap ini sedapat mungkin juga melibatkan masyarakat dalam setiap proses. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. (Berita terkait dengan Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Gunung Merapi meletus dapat dilihat melalui https://nasional.kontan.co.id/news/rehabilitasi-dan-rekonstruksi-pasca-merapi-secara-swadaya-mulai-dilakukan-1).
Managamen
bencana yang diperlukan untuk mengatasi bencana alam terutama akibat dari
adanya erupsi Gunung Merapi dapat dilakukan dengan mengkombinasikan modal
sosial yang ada di dalam masyarakat sekitar. Menurut Menurut Pierre Bourdieu
dalam Sunoto (2014) modal sosial merupakan aspek sosial dan budaya yang
memiliki nilai ekonomi dan dapat dilembagakan, yaitu keseluruhan sumber daya
baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan
hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling
mengakui. Selanjutnya menurut Woolcock (2001) memisahkan modal sosial menjadi
tiga jenis utama yaitu bonding (mengikat), bridging (menjembatani),
linking (menghubungkan) ketiganya memiliki makna dan tujuan yang
berbeda. hal ini dapat dianalisis untuk modal sosial dalam menejemen bencana,
terkhususnya akibat erupsi Gunung Merapi.
Bonding
social capital atau modal sosial yang mengikat, yang
berarti ikatan antar individu dalam situasi yang sama seperti keluarga dekat,
teman akrab, dan rukun tetangga. Efektif menebarkan sistem informasi seperti
peringatan dini, jalur evakuasi, kondisi lokasi penampungan, tempat penyimpanan
dan distribusi makanan, pakaian , obat-obatan dan lainnya. Sehingga dalam hal
ini akan mampu untuk mengatasi ketergantungan korban bencana terhadap bantuan
dari luar. Kemudian juga mendorong sanak kerabat berpartisipasi aktif dalam proses
pemulihan kondisi kehidupan dan penghidupan seperti sebelum bencana. Hal ini
bisa dicontohkan saat berada dalam tenda pengungsian para korban bencana
terutama kalangan ibu ibu tetap saling bergotong royong dalam memasak untuk
konsumsi korban lainnya. Social capital bonding biasanya ditunjukkan
melalui nilainilai yang dianut, kultur, persepsi, dan tradisi
atau adat istiadat (custom) yang disepakati.
Gotong royong antar masyarkat dan TNI saat di dapur darurat. |
Bridging social capital atau
modal sosial yang menjembatani adalah suatu ikatan yang lebih longgar antara
beberapa individu, tanpa adanya hubungan emosional, seperti teman jauh, dan
teman kerja di kantor. Dalam bencana erupsi Gunung Merapi mendorong peran lembaga
swadaya masyarakat, lembaga donor, organisasi aktif unutk menyalurkan bantuan dalam
tanggap dan pemulihan bencana. Relasi dengan kelompok tertentu yang peduli
dapat membantu dalam kegiatan kebencanaan. Contoh lembaga sosial dalam membantu
korban erupsi Gunung Merapi antara lain seperti, BPBN, Tim SAR, PMI, dan para
relawan kemanusian lainnya.
Tim SAR saat mengevakuasi korban erupsi Gunung Merapi. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-1496427/tim-sar-kembali-temukan-4-korban-tewas-akibat-letusan-merapi |
Linking social
capitalatau modal sosial yang menghubungkan yaitu modal sosial yang
menjangkau individu individu yang berbeda pada situasi yang berbeda, seperti
individu yang sepenuhnya ada di luar komunitas, sehingga mendorong anggotanya
memanfaatkan banyak sumberdaya dibanding dengan sumberdaya yang tersedia.
Modal sosial di atas menjadi kekuatan bagi masyarakat korban bencana alam erupsi Gunung Merapi dalam memobilisasi sumber daya untuk menghadapi bencana. Untuk itu, pola sinergi dalam penanggulangan bencana berbasis modal sosial perlu diperkuat sehingga dalam penanganan bencana merupakan aktivitas yang saling memperkuat
Sumber Referensi :
Bappenas dan BNPB. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D I
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 – 2013.
Handayani, Baiq Lily. (2015). Jaringan Kelompok Perempuan
dalam Manajemen Bencana di Desa Kemiri, Panti, Jember. Jurnal Entitas Sosiologi, Vol 2 (1) 47-66.
Herlambang, Adib A. (2020). Sejarah Letusan Gunung Merapi
Sejak Tahun 1006. Diakses melalui https://ayosemarang.com/read/2020/11/07/66642/sejarah-letusan-gunung-merapi-sejak-tahun-1006.
https://merapi.bgl.esdm.go.id/pub/page.php?idf=10
Karimatunnis, Aisyah dan Nurmala K. Pandjaitan. (2018). Peran
Modal Sosial dalam Resiliensi Komunitas Menghadapi Erupsi Gunung Merapi
Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, D.I.
Yogyakarta. Jurnal Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (JSKPM), Vol. 2 (3): 332-346. Diakses dari https://doi.org/10.29244/jskpm.2.3.333-346.
Maryana, Bagus Maryana. (2015). Peran Modal Sosial
Masyarakat dalam Kesiagaan Menghadapi Erupsi Gunung Merapi Skripsi, Universitas
Jember.
Purnama, Sang G. (2017). Modul Manajemen Bencana.
Universitas Udayana.
Tohani, Entoh
dan Lutfi Wibawa. (2019). Peran Modal Sosial dalam Penanganan Bencana pada
Masyarakat Desa Rawan Bencana Erupsi Merapi. Cakrawala Pendidikan, Vol 38(3) 527-539.
Trirahayu, Tyas. (2015). Manajemen Bencana Erupsi Gunung Merapi oleh Badan Penangulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman. Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Comments
Post a Comment